
Menjelang masa kampanye, para Caleg berlomba membuat ‘kemasan’ dirinya dan
partainya agar dapat diterima oleh calon pemilih. Hal ini tak terlepas dari
pengetahuan dan persepsi mereka tentang cara menjual, cara berdagang, cara bertransaksi
terhadap produk atau ‘kemasan’ yang dimilikinya tersebut dalam pencapaian
tujuan apakah pemilihnya puas atau tidak puas. Membangun pencitraan memang
sangat diperlukan, namun tidak serta merta menyajikan sebuah produk yang jelek
bahkan merugikan bagi konsumen, bagaikan menjual kucing dalam karung. Tentunya
marketing politik pada saat ini semakin memegang peranan penting dalam
pemilihan umum, sistem dan budaya politik seperti ini akan menguntungkan para
pihak yang memiliki kemampuan financial atau capital yang besar. Jika para
Caleg tidak dapat memenej dirinya sendiri, jauh-jauh hari mereka membayar
konsultan atau ahli politik untuk membuat strategi yang jitu dalam memenangkan
pemilu. Ironisnya jika para konsultan tersebut melakukan proses pembodohan
kepada masyarakat dengan melakukan politik transaksional, melanggar ketentuan
kampanye, membuat kampanye terselubung, dan praktek-praktek curang lainnya yang
menabrak aturan dan ketidakpantasan sosial dan budaya masyarakat.