Minggu, 03 November 2013

TOLAK Kampanye Transaksional...!



Saya menolak keras praktek kampanye transaksional yang telah membodohi masyarakat selama ini”, ujar Maman Fathurochman sebagai Caleg DPR-RI Partai NasDem dari Dapil Banten 1. “Saya ingin menyadarkan masyarakat yang selama ini apatis dan pragmatis menjadi masyarakat yang pintar dalam memilih wakil dan pemimpinnya. Perjuangan ini sangatlah berat meskipun taruhannya menjadikan probabilitas kemenangan saya menjadi kecil, namun saya memiliki keyakinan bahwa kebenaran pada saatnya nanti akan menang serta menjadi panglima dalam mengawal Perubahan menuju Indonesia yang lebih baik.”
Menjelang masa kampanye, para Caleg berlomba membuat ‘kemasan’ dirinya dan partainya agar dapat diterima oleh calon pemilih. Hal ini tak terlepas dari pengetahuan dan persepsi mereka tentang cara menjual, cara berdagang, cara bertransaksi terhadap produk atau ‘kemasan’ yang dimilikinya tersebut dalam pencapaian tujuan apakah pemilihnya puas atau tidak puas. Membangun pencitraan memang sangat diperlukan, namun tidak serta merta menyajikan sebuah produk yang jelek bahkan merugikan bagi konsumen, bagaikan menjual kucing dalam karung. Tentunya marketing politik pada saat ini semakin memegang peranan penting dalam pemilihan umum, sistem dan budaya politik seperti ini akan menguntungkan para pihak yang memiliki kemampuan financial atau capital yang besar. Jika para Caleg tidak dapat memenej dirinya sendiri, jauh-jauh hari mereka membayar konsultan atau ahli politik untuk membuat strategi yang jitu dalam memenangkan pemilu. Ironisnya jika para konsultan tersebut melakukan proses pembodohan kepada masyarakat dengan melakukan politik transaksional, melanggar ketentuan kampanye, membuat kampanye terselubung, dan praktek-praktek curang lainnya yang menabrak aturan dan ketidakpantasan sosial dan budaya masyarakat.

Bila kita merujuk pada Un­dang-Undang No. 8 Tahun 2012 dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan kampanye yaitu kegiatan-kegiatan penyampaian visi, misi, dan program pada wak­tu tahapan kampanye Pemilu. Dalam Undang-undang ini, selain waktu, diatur juga soal materi kampanye, metode kampanye, larangan dalam kampanye dan sanksi atas pelanggaran kampanye, yang semua itu nantinya akan diatur secara lebih teknis dalam peraturan-peraturan KPU. Namun permasalahannya, untuk kegiatan-kegiatan di luar tahapan, penyelenggara Pe­milu biasanya tidak bisa meng­ambil tindakan atau mem­berikan sanksi terhadap pih­ak-pihak, baik partai politik maupun orang-per-orang yang melakukan kampanye di luar yang telah diatur dalam Undang-undang.
Banyak atribut kampanye melalui berbagai media memberikan informasi bahkan doktrinasi kepada masyarakat menjejali telinga dan mata kita, sampai ‘pohon pisang’ pun menjerit karena dijadikan tiang untuk pemasangan baliho dan spanduk para Caleg. Tujuan mereka hanyalah meningkatkan pencitraan dan elektabilitas, sehingga masyarakat tergoda dan akhirnya memilih mereka. Fokus perhatian seluruh stakeholders politik dan Pemilu yang hanya tertuju pada kalah-menang seringkali menyebabkan ku­rang­nya perhatian dan pema­haman akan pentingnya taha­pan-tahapan lainnya dalam pemilu, terutama persoalan kampanye yang baik dan berkualitas. Dalam pasal 77, UU No. 8 Tahun 2012 dinyatakan kampanye pemilu merupakan bagian dari pendidikan po­litik masyarakat dan dilak­sanakan secara ber­tang­gungjawab. Makna dari ber­tanggungjawab berarti kam­panye dilak­sana­kan sesuai dengan undang-undang atau ketentuan yang berlaku. Atau bisa juga ber­makna setiap janji dalam kampanye benar-benar harus dapat diper­tanggungjawabkan nantinya setelah memperoleh jabatan atau kekuasaan.
Menurut Firmanzah da­lam buku Persaingan, Legi­timasi Kekuasaan, dan Mar­keting Politik: Pembelajaran Politik 2009 (2010), kepen­tingan kampanye politik para kontestan baik parpol atau­pun perorangan masih se­batas “yang penting terpilih, soal bagaimana caranya itu belakangan”. Kampanye politik yang dipahami de­mikian pada akhirnya tidak diikuti dengan konsistensi para politisi untuk menjaga kontinuitas.
Sebagaimana pengertian dari kampanye yang meru­pakan tahapan penyampaian visi, misi dan program-prog­ram kontestan pemilu, pada masa kampanye-lah kon­testan pemilu berkomunikasi dengan masyarakat atau calon pemilih. Namun, apakah kampanye dengan berbagai janji yang disampaikan pada pemilu dan pemilihan kepala daerah kini sudah benar-benar dilakukan dengan jujur? Wa­lau­pun para kontestan pemilu sedang berlomba menduduki jabatan, sudah seharusnya tetap benar-benar tulus untuk membuat perbaikan di masa datang. Persoalan kejujuran adalah permasalahan integ­ritas dari para kontestan itu sendiri. Tak jarang kontestan Pemilu yang dulu telah dipilih oleh masyarakat akhirnya dihujat akibat janji tak berse­suaian dengan kenyataan setelah menjabat. Kenyataan ini, lama-kelamaan akan memperdalam jurang keti­dakpercayaan antara masya­rakat dan elit politik di negara kita.
“Apakah rakyat akan kembali masuk kedalam jurang yang sama, menyesali diri karena salah dalam memilih wakil dan pemimpin mereka yang hanya pandai berjanji dan mengobral mimpi tanpa bukti?”. Tentunya saat ini kita semua berharap jangan sampai masyarakat kembali terjerumus pada jurang yang sama. Masyarakat harus lebih pintar dan cerdas sehingga berani menolak praktek politik uang atau transaksional dengan tidak lagi menerima amplop berisi uang, menolak paket sembako dan praktek sejenisnya, bahkan diharapkan masyarakat mampu mengetahui sebenar-benarnya sepak terjang calon yang akan dipilihnya tersebut.
Masyakarat harus sadar bahwa sistem transaksional inilah yang menjadikan salah satu akar permasalahan korupsi para wakil rakyat atau pemimpinnya. Para wakil rakyat dan pemimpin yang terpilih tersebut nantinya akan berusaha mengembalikan sejumlah modal yang dipakai dalam praktek transaksional tersebut dan mereka pasti akan berulah melakukan hal-hal yang merugikan masyarakat seperti korupsi yang saat ini merajalela. Korupsi sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan yang telah merengut hak-hak rakyat Indonesia sehingga masyarakat tidak mendapatkan pelayanan maksimal, karena sebagian hak rakyat telah diambil oleh oknum tersebut demi kepentingan pribadi dan kelompoknya semata.
Sangat jauh panggang dari api apabila ingin ada proses pencerdasan politik apalagi penanaman nilai-nilai luhur kebangsaan dari sang calon wakil rakyat dengan konstituennya. Karena proses pemilihan yang transaksional hanya memerlukan segala hal yang berupa materi yaitu uang, tampang, dan pencitraan. Tidak perlu menggunakan kepintaran dalam meyakinkan rakyat melalui orasi artikulatif diatas panggung, karena menurut mereka rakyat hanya butuh Orkes Musik Dangdut, uang tunai dan sembako. Tidak penting merumuskan program kerja selama 5 tahun ke depan karena pemilih hanya butuh uang rokok dan uang bensin untuk menghadirkan mereka di setiap acara pertemuan, dan yang terpenting bagi mereka yang ingin menjadi anggota legislatif, menyiapkan sejumlah dana yang cukup untuk beli suara di TPS atau di KPUD untuk mendongkrak perolehan suara.
Pemilu transaksional seperti layaknya jual beli di pasar. Ada uang ada barang, ada sembako ada suara, ada kaos ada dukungan, ada musik dangdut ada mobilisasi masa. Semua dihitung per kepala ditotal menjadi sebuah angka yang fantastis, ‘siapkan uang maka siaplah massa. Tidak ada lagi teori kebenaran, tiada lagi prinsip marketing yang bertujuan memuaskan konsumen, mereka hanya menggunakan teori produk ‘kemasan kemunafikan’ yang hanya ingin meraih jumlah atau volume penjualan atas produk dagangannya. Sistem pemilu dan pola kampanye semacam itu tentunya tidak bisa diharapkan menghasilkan wakil-wakil rakyat yang berkualitas. Ketika uang bicara maka hanya mereka yang memiliki modal capital yang mampu melaksanakan segenap acara seremonial pesta. Padahal mereka yang memiliki uang tidak selamanya memiliki kapasitas dan integritas sebagai calon wakil rakyat. Pun tidak semua orang yang tidak memiliki uang juga memiliki kapasitas dan integritas yang baik.
Apabila proses politik hanya berdasarkan pada kekuatan uang tanpa kualitas maka yang terjadi adalah proses transaksional belaka. Logika sederhana ketika sang calon sudah terpilih adalah bagaimana mengembalikan modal yang sudah dikeluarkan untuk membeli tiket menuju kursi wakil rakyat. Karena itulah kita sering mendengar praktek-praktek calo anggaran, BUMN sebagai sapi perahan, itu semua adalah akibat dari pola kampanye yang transaksional.
Pola kampanye transaksional tersebut sesungguhnya berakar dari pemikiran bahwa rakyat adalah bodoh dan hanya sebagai objek belaka. Rakyat dapat dieksploitasi dan dibohongi serta mereka tidak memiliki keinginan dan kemampuan untuk memiliki seorang wakil rakyat yang berkualitas, jujur dan amanah.
Lebih jauh lagi, mereka-mereka yang menggunakan pola transaksional sebenarnya hanya melihat politik sebagai sebuah jabatan semata. Politik sebagai prestise yang memberikan kedudukan yang terhormat kepada sessorang sehingga dia memiliki hak-hak istimewa dibandingkan dengan masyarakat kebanyakan. Bagi mereka yang menggunakan pola-pola transaksional hanya menjadikan Pemilu sebagai seremonial belaka, semacam “pesta” demokrasi. Tanpa hasil dan tujuan yang jelas maka bukan tidak mungkin pola transaksional ini yang menjadi mainstream bagi para politisi yang tidak paham akan makna hakiki menjadi seorang politisi.
Partai NasDem jauh-jauh hari telah melakukan antisipasi terhadap praktek-praktek kotor semacam ini, semua caleg diberikan pembekalan yang keras untuk tidak melakukan praktek-praktek kotor, mereka dibekali idiologi dan idealisme partai yang mengusung Perubahan, bahkan bilamana ada kader dan caleg yang melanggarnya akan diberikan sanksi tegas dan keras sampai diproses hukum untuk memunculkan efek jera serta menunjukan kepada masyarakat bahwa Partai NasDem konsisten terhadap semua perjuangannya. Partai NasDem tidak merekrut calon wakil rakyat dengan persyaratan kemampuan finansial, bahkan semua proses pendaftaran tidak ada satu rupiah pun yang disetorkan kepada partai, malahan semua biaya ditanggung sepenuhnya oleh partai. Hal inilah yang seharusnya diketahui oleh kyalayak pemilih, agar mereka dapat dengan cerdas dan pintar memilih wakil dan pimpinannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar