
Menjelang masa kampanye, para Caleg berlomba membuat ‘kemasan’ dirinya dan
partainya agar dapat diterima oleh calon pemilih. Hal ini tak terlepas dari
pengetahuan dan persepsi mereka tentang cara menjual, cara berdagang, cara bertransaksi
terhadap produk atau ‘kemasan’ yang dimilikinya tersebut dalam pencapaian
tujuan apakah pemilihnya puas atau tidak puas. Membangun pencitraan memang
sangat diperlukan, namun tidak serta merta menyajikan sebuah produk yang jelek
bahkan merugikan bagi konsumen, bagaikan menjual kucing dalam karung. Tentunya
marketing politik pada saat ini semakin memegang peranan penting dalam
pemilihan umum, sistem dan budaya politik seperti ini akan menguntungkan para
pihak yang memiliki kemampuan financial atau capital yang besar. Jika para
Caleg tidak dapat memenej dirinya sendiri, jauh-jauh hari mereka membayar
konsultan atau ahli politik untuk membuat strategi yang jitu dalam memenangkan
pemilu. Ironisnya jika para konsultan tersebut melakukan proses pembodohan
kepada masyarakat dengan melakukan politik transaksional, melanggar ketentuan
kampanye, membuat kampanye terselubung, dan praktek-praktek curang lainnya yang
menabrak aturan dan ketidakpantasan sosial dan budaya masyarakat.
Bila kita merujuk pada Undang-Undang No. 8 Tahun 2012 dapat disimpulkan bahwa yang
dimaksud dengan kampanye yaitu kegiatan-kegiatan penyampaian visi, misi, dan
program pada waktu tahapan kampanye Pemilu. Dalam Undang-undang ini, selain
waktu, diatur juga soal materi kampanye, metode kampanye, larangan dalam
kampanye dan sanksi atas pelanggaran kampanye, yang semua itu nantinya akan
diatur secara lebih teknis dalam peraturan-peraturan KPU. Namun permasalahannya,
untuk kegiatan-kegiatan di luar tahapan, penyelenggara Pemilu biasanya tidak
bisa mengambil tindakan atau memberikan sanksi terhadap pihak-pihak, baik
partai politik maupun orang-per-orang yang melakukan kampanye di luar yang
telah diatur dalam Undang-undang.
Banyak atribut kampanye melalui berbagai media memberikan informasi bahkan
doktrinasi kepada masyarakat menjejali telinga dan mata kita, sampai ‘pohon
pisang’ pun menjerit karena dijadikan tiang untuk pemasangan baliho dan spanduk
para Caleg. Tujuan mereka hanyalah meningkatkan pencitraan dan elektabilitas,
sehingga masyarakat tergoda dan akhirnya memilih mereka. Fokus perhatian
seluruh stakeholders politik dan Pemilu yang hanya tertuju pada
kalah-menang seringkali menyebabkan kurangnya perhatian dan pemahaman akan
pentingnya tahapan-tahapan lainnya dalam pemilu, terutama persoalan kampanye
yang baik dan berkualitas. Dalam pasal 77, UU No. 8 Tahun 2012 dinyatakan
kampanye pemilu merupakan bagian dari pendidikan politik masyarakat dan dilaksanakan
secara bertanggungjawab. Makna dari bertanggungjawab berarti kampanye dilaksanakan
sesuai dengan undang-undang atau ketentuan yang berlaku. Atau bisa juga bermakna
setiap janji dalam kampanye benar-benar harus dapat dipertanggungjawabkan
nantinya setelah memperoleh jabatan atau kekuasaan.
Menurut Firmanzah dalam buku Persaingan, Legitimasi Kekuasaan, dan Marketing
Politik: Pembelajaran Politik 2009 (2010), kepentingan kampanye politik
para kontestan baik parpol ataupun perorangan masih sebatas “yang penting
terpilih, soal bagaimana caranya itu belakangan”. Kampanye politik yang
dipahami demikian pada akhirnya tidak diikuti dengan konsistensi para politisi
untuk menjaga kontinuitas.
Sebagaimana pengertian dari kampanye yang merupakan tahapan penyampaian
visi, misi dan program-program kontestan pemilu, pada masa kampanye-lah kontestan
pemilu berkomunikasi dengan masyarakat atau calon pemilih. Namun, apakah
kampanye dengan berbagai janji yang disampaikan pada pemilu dan pemilihan
kepala daerah kini sudah benar-benar dilakukan dengan jujur? Walaupun para
kontestan pemilu sedang berlomba menduduki jabatan, sudah seharusnya tetap
benar-benar tulus untuk membuat perbaikan di masa datang. Persoalan kejujuran
adalah permasalahan integritas dari para kontestan itu sendiri. Tak jarang
kontestan Pemilu yang dulu telah dipilih oleh masyarakat akhirnya dihujat
akibat janji tak bersesuaian dengan kenyataan setelah menjabat. Kenyataan ini,
lama-kelamaan akan memperdalam jurang ketidakpercayaan antara masyarakat dan
elit politik di negara kita.
“Apakah rakyat akan kembali masuk kedalam jurang yang sama, menyesali diri
karena salah dalam memilih wakil dan pemimpin mereka yang hanya pandai berjanji
dan mengobral mimpi tanpa bukti?”. Tentunya saat ini kita semua berharap jangan
sampai masyarakat kembali terjerumus pada jurang yang sama. Masyarakat harus
lebih pintar dan cerdas sehingga berani menolak praktek politik uang atau
transaksional dengan tidak lagi menerima amplop berisi uang, menolak paket
sembako dan praktek sejenisnya, bahkan diharapkan masyarakat mampu mengetahui sebenar-benarnya
sepak terjang calon yang akan dipilihnya tersebut.
Masyakarat harus sadar bahwa sistem transaksional inilah yang menjadikan
salah satu akar permasalahan korupsi para wakil rakyat atau pemimpinnya. Para
wakil rakyat dan pemimpin yang terpilih tersebut nantinya akan berusaha
mengembalikan sejumlah modal yang dipakai dalam praktek transaksional tersebut
dan mereka pasti akan berulah melakukan hal-hal yang merugikan masyarakat
seperti korupsi yang saat ini merajalela. Korupsi sebagai kejahatan
terhadap kemanusiaan yang telah merengut hak-hak rakyat Indonesia sehingga masyarakat tidak
mendapatkan pelayanan maksimal, karena sebagian hak rakyat telah diambil oleh oknum tersebut demi
kepentingan pribadi dan kelompoknya semata.
Sangat jauh panggang dari api apabila ingin ada proses pencerdasan
politik apalagi penanaman nilai-nilai luhur kebangsaan dari sang calon wakil
rakyat dengan konstituennya. Karena proses pemilihan yang transaksional hanya
memerlukan segala hal yang berupa materi yaitu uang, tampang, dan pencitraan. Tidak perlu menggunakan kepintaran
dalam meyakinkan
rakyat melalui orasi artikulatif diatas panggung, karena menurut mereka rakyat
hanya butuh Orkes Musik Dangdut, uang
tunai dan sembako. Tidak penting
merumuskan program kerja selama 5 tahun ke depan karena pemilih hanya butuh
uang rokok dan uang bensin untuk menghadirkan mereka di setiap acara
pertemuan, dan yang terpenting
bagi mereka yang ingin menjadi anggota legislatif, menyiapkan sejumlah
dana yang cukup untuk beli suara di TPS atau di KPUD untuk mendongkrak perolehan
suara.
Pemilu transaksional seperti layaknya jual beli di pasar. Ada uang
ada barang, ada sembako ada suara, ada kaos ada dukungan, ada musik dangdut ada
mobilisasi masa. Semua dihitung per kepala ditotal menjadi sebuah angka yang
fantastis, ‘siapkan uang
maka siaplah massa’. Tidak ada
lagi teori kebenaran, tiada lagi prinsip marketing yang bertujuan memuaskan
konsumen, mereka hanya menggunakan teori produk ‘kemasan kemunafikan’ yang
hanya ingin meraih jumlah atau volume penjualan atas produk dagangannya. Sistem
pemilu dan pola kampanye semacam itu tentunya tidak bisa diharapkan
menghasilkan wakil-wakil rakyat yang berkualitas. Ketika uang bicara maka hanya
mereka yang memiliki modal capital yang mampu melaksanakan segenap acara
seremonial pesta. Padahal mereka yang memiliki uang tidak selamanya memiliki
kapasitas dan integritas sebagai calon wakil rakyat. Pun tidak semua orang yang
tidak memiliki uang juga memiliki kapasitas dan integritas yang baik.
Apabila proses politik hanya berdasarkan pada kekuatan uang tanpa
kualitas maka yang terjadi adalah proses transaksional belaka. Logika sederhana
ketika sang calon sudah terpilih adalah bagaimana mengembalikan modal yang
sudah dikeluarkan untuk membeli tiket menuju kursi wakil rakyat. Karena itulah
kita sering mendengar praktek-praktek calo anggaran, BUMN sebagai sapi perahan,
itu semua adalah akibat dari pola kampanye yang
transaksional.
Pola kampanye transaksional tersebut sesungguhnya berakar dari
pemikiran bahwa rakyat adalah bodoh dan hanya sebagai objek belaka. Rakyat
dapat dieksploitasi dan dibohongi serta mereka tidak memiliki keinginan dan
kemampuan untuk memiliki seorang wakil rakyat yang berkualitas, jujur dan
amanah.
Lebih jauh lagi, mereka-mereka yang menggunakan pola transaksional
sebenarnya hanya melihat politik sebagai sebuah jabatan semata. Politik sebagai
prestise yang memberikan kedudukan yang terhormat kepada sessorang sehingga dia
memiliki hak-hak istimewa dibandingkan dengan masyarakat kebanyakan. Bagi
mereka yang menggunakan pola-pola transaksional hanya menjadikan Pemilu sebagai
seremonial belaka, semacam “pesta” demokrasi. Tanpa hasil dan tujuan yang jelas
maka bukan tidak mungkin pola transaksional ini yang menjadi mainstream bagi
para politisi yang tidak paham akan makna hakiki menjadi seorang politisi.
Partai NasDem jauh-jauh hari telah melakukan
antisipasi terhadap praktek-praktek kotor semacam ini, semua caleg diberikan
pembekalan yang keras untuk tidak melakukan praktek-praktek kotor, mereka
dibekali idiologi dan idealisme partai yang mengusung Perubahan, bahkan
bilamana ada kader dan caleg yang melanggarnya akan diberikan sanksi tegas dan
keras sampai diproses hukum untuk memunculkan efek jera serta menunjukan kepada
masyarakat bahwa Partai NasDem konsisten terhadap semua perjuangannya. Partai
NasDem tidak merekrut calon wakil rakyat dengan persyaratan kemampuan
finansial, bahkan semua proses pendaftaran tidak ada satu rupiah pun yang
disetorkan kepada partai, malahan semua biaya ditanggung sepenuhnya oleh
partai. Hal inilah yang seharusnya diketahui oleh kyalayak pemilih, agar mereka
dapat dengan cerdas dan pintar memilih wakil dan pimpinannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar