Kesadaran politik setiap masyarakat akan
sangat berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya dikarenakan
berbagai faktor yang akhirnya akan menghasilkan pemikiran masyarakat
yang apatis dan pragmatis serta sebaliknya aktif dan memiliki kesadaran
yang tinggi terhadap pentingnya Pemilu. Beberapa bulan terakhir penulis
melakukan pendekatan dan komunikasi langsung dengan masyarakat di tempat
daerah pemilihan, memang benar bahwa sebagian masyarakat memiliki
kecenderungan kearah apatis dan pragmatis, namun ada pula yang
bersemangat untuk ikut melakukan perubahan karena sudah merasa jengkel
dengan kondisi dan keadaan politik serta kepemimpinan saat ini. Keadaan
tersebut diperparah karena hampir sebagian besar anggota legislatif
ditingkat pusat mencalonkan kembali sebagai anggota DPR-RI. Mereka
justru akan membuat masyarakat bosan dan jenuh karena janji-janji mereka
dahulu dan perilaku korup yang akhirnya membuat masyarakat menderita.
Bagi beberapa caleg pemula, keadaan ini merupakan tantangan tersendiri
dan selalu berusaha menyadarkan masyarakat betapa pentingnya partisipasi
kita terhadap semua proses Pemilu untuk mengubah kondisi bangsa dan
negara kearah yang lebih baik. Bagi sebagian masyarakat yang sadar,
mereka tidak segan-segan melakukan penyadaran kepada masyarakat lainnya
untuk aktif dan paham betapa pentingnya hasil Pemilu bagi legislatif
maupun eksekutif bagi kemajuan dan pencapaian cita-cita bangsa dan
negara. Mereka kritis terhadap kondisi bangsa saat ini, dan hal tersebut
menjadi penyemangat bagi para Caleg yang memiliki idealisme dan yang
memiliki visi Perubahan.
Bagi para Caleg yang memiliki latar belakang
sebagai Aktivis tentunya akan sangat membantu dalam membangun jaringan
dan pergerakan masyarakat. Banyak hal yang mereka kritisi, antara lain:
banyaknya kasus korupsi yang sudah secara masiv mengakar di semua unsur
birokrasi bagi eksekutif maupun legislatif; menggejalanya dinasti
politik yang bertujuan untuk mengamankan kekuasaan; hancurnya kearifan
masyarakat dalam melaksanakan pesta demokrasi yang dicemari oleh politik
uang dan transaksional; kolusi dan nepotisme dalam proses rekrutmen PNS
yang harus menyetorkan sejumlah uang pelicin; penguasaan kekayaan alam
oleh pihak asing dan pembiaran terhadap kepemilikan lahan besar-besaran
hanya karena alasan investasi dan liberalisasi ekonomi; penyimpangan
terhadap praktek dan reposisi dari Pancasila dan UUD 1945 yang
seharusnya tetap dijaga sebagai falsafah dan dasar negara; masalah
tenaga kerja dan kesempatan kerja masyarakat; memanipulasi berbagai
proyek dan bagi-bagi jatah serta program subdisi yang dikaburkan; dan
segudang masalah lain baik ditingkat pusat dan daerah serta berbagai
bidang ekonomi, ideologi, politik, hukum, sosial, budaya dampai sumber
daya energi.
Bagi saya, sikap kritis tersebut
menjadikan penyemangat dan dorongan yang luar biasa untuk bisa melakukan
perubahan diberbagai sendi dan aspek kehidupan masyarakat. Biarpun
perjuangan saya sekarang ini sedang melakukan antitesa terhadap usaha
politik yang memungkinkan peluang keberhasilannya sangat kecil, namun
saya merasa tegar untuk tidak melakukan politik transaksional dan
menjauhkan dari praktek-praktek kotor yang akan membohongi dan membodohi
masyarakat. Di setiap perjalanan dalam melakukan silaturahmi dan
koordinasi, tidak henti-hentinya saya mengajak dan menyadarkan
masyarakat untuk aktif dalam usaha melakukan perubahan. Mengajak mereka
untuk tidak bersikap apatis dan pragmatis terhadap semua proses
demokrasi dan pemilu yang sebentar lagi akan diselenggarakan.
Apatisme Masyarakat
Orang-orang yang apatis menganggap
kegiatan berpolitik sebagai sesuatu yang sia-sia, sehingga sama sekali
tidak ada keinginan untuk beraktivitas di dunia politik. Sikap apatis
masyarakat terhadap politisi menjadi penyebab utama golput (golongan
putih), golongan putih diartikan sebagai pilihan politik warga negara
untuk tidak menggunakan hak pilih, hal ini berkaitan dengan partisipasi
politik. Keinginan golput merupakan pilihan yang dilakukan secara sadar,
karena kenyataannya dari dulu mulai kampanye hingga pemilihan akhirnya
semua tetap sama saja, sehingga adanya sebagian orang yang mengabaikan
Pemilu. Orang-orang yang bersikap apatis terhadap kegiatan berpolitik di
karena sebagian masyarakat yang sama sekali tidak memahami hakikat
politik sesungguhnya.
Apatis adalah sikap masyarakat yang masa
bodoh dan tidak mempunyai minat atau perhatian terhadap orang lain,
keadaan, serta gejala-gejala sosial politik pada umumnya. Apatisme
merupakan sikap acuh tak acuh terhadap sebuah hal, dalam hal ini adalah
politik. Apatisme masyarakat terhadap politik dilatari oleh dua aspek
yaitu rendahnya kepercayaan terhadap politik yang berlangsung dan
rendahnya ketertarikan masyarakat terhadap politik. Dalam beberapa kasus
apatisme masyarakat terhadap politik khususnya di Indonesia, terjadi
disebabkan oleh kesenjangan antara masyarakat dan elit politik. Diantara
mereka terjadi distorsi kepentingan, dimana elit politik selalu
menjadikan kelompok masyarakat menjadi objek pencapaian kepentingannya
dan cenderung mengorbankan kepentingan masyarakat. Hal ini sebenarnya
harus dihindari bahwa politisi seyogyanya tidak menjadikannya elit dan
jauh dari masyarakat, justru yang memegang kekuasaan tertinggi adalah
masyarakat itu sendiri dan politisi seharusnya menjadi pelayan
masyakarat dan penyambung lidah rakyat untuk kepentingan bersama dalam
berbangsa dan bernegara.
Pragmatisme Masyarakat
Satu sisi lagi yaitu pragmatisme
masyarakat yang terjadi saat ini dimana mereka akan ikut memilih
bilamana ada imbalan dan janji yang sesuai dengan keinginan dan
kepentingan masyarakat. Hal ini merupakan produk dari proses pembodohan
masyarakat yang secara masiv terjadi baik disadari atau tidak disadari
oleh kalangan elit politik yang pernah berkuasa. Kecenderungan itu
muncul bukan tanpa sebab, salah satunya karena perilaku wakil yang
dipilih dalam perkembangannya sudah tidak mencerminkan kepentingan
masyarakat. Untuk menarik simpati pemilih yang pragmatis tersebut, kita
harus melakukan pendekatan dengan memberikan penyadaran politik. Karena
itu sebisa mungkin kita menghindari praktek politik uang dalam menggaet
pemilih, karena politik transaksional sangat membahayakan iklim
demokrasi Indonesia dikemudian hari.
Pragmatis adalah cara pandang atau pola
pikir seseorang yang ingin memperoleh atau mendapatkan sesuatu dengan
cara-cara yang mudah dan praktis. Pragmatisme adalah paham tentang cara
pandang atau pola pikir seseorang yang ingin memperoleh atau mendapatkan
sesuatu dengan cara-cara yang mudah dan praktis. Bila sementara saya
simpulkan dari hasil kunjungan dan silaturahmi di lapangan bahwa saat
ini kecenderungan pemilih di masyarakat sangat apatis dan pragmatis.
Paradox Kepentingan Politik
Kesadaran politik berarti sadar akan hak
dan kewajibannya sebagai warga negara, sikap dan kepercayaan terhadap
pemerintah lebih kepada penilaian seseorang terhadap pemerintah, apakah
pemerintah dapat dipercaya atau tidak. Apabila seseorang memiliki
kesadaran politik dan kepercayaan terhadap pemerintah yang tinggi,
partisipasi politik cenderung aktif. Sebaliknya, apabila kesadaran dan
kepercayaan rendah terhadap pemerintah, partisipasi politik cenderung
pasif dan tertekan atau apatis. Salah satu alasan yang menyebabkan sikap
apatis pada masyarakat umumnya adalah dengan adanya anggapan pada
individu dan masyarakat bahwa partisipasi politik adalah hal sia-sia
karena tidak pernah efektif. Pola pikir masyarakat melihat elite politik
yang senantiasa selalu membodohi masyarakat dan masyarakat yang
mempunyai pengalaman dan pemahaman bahwa pemerintah dan elit politik,
baik tingkat pusat maupun daerah, selama ini tidak mampu melakukan
perubahan sosial politik bagi perbaikan nasib rakyat banyak. Masyarakat
yang umumnya ada perasaan terasingkan dari politik atau pemerintahan dan
cenderung berpikir bahwa pemerintahan dan politik hanya dilakukan oleh
dan untuk orang lain, jadi merasakan dan memandang berbagai kebijakan
elit politik atau pemerintah tidak lagi bersesuaian dengan sikap dan
pemikiran politiknya atau kepentingan rakyat banyak.
Kepentingan politik sebenarnya adalah
semata-mata untuk membuat tercapaikan keingingan dan kepentingan rakyat
banyak. Masyarakat atau rakyak akan memilih wakil-wakilnya untuk
kepentingan mereka, dan wakil-wakilnya tersebut semata-mata bekerja dan
berusaha untuk mencapai apa yang diinginkan masyarakat pemilihnya
tersebut. Namun sekarang terjadi paradox kepentingan politik dimana
proses politik tersebut menimbulkan distorsi kepentingan dan menjadikan
dua pihak yang berbeda serta melahirkan elit politik yang sesungguhnya
mereka hanya sebagai pelayan dan mewakili kepentingan masyarakat.
Kepentingan masyakarat dan elit politik akhirnya jauh berbeda, akhirnya
masyarakat yang selalu menjadi korban kebijakan politik yang sedang
berkuasa. Wakil Rakyat yang seharusnya mengusung kepentingan rakyat
nyatanya menjadi musuh rakyat karena hanya mengusung kepentingan
kelompok dan pribadinya semata. Masyarakat memandang elite politik tidak
mengalami perubahan yang jelas. Ada sebagian masyarakat yang sangat
mengerti sekali dengan politik tetapi pemilu tak ubahnya hanya sandiwara
politik karena hakikatnya, pemilu hanya akan menguntungkan secara
politik dan ekonomi kepada elit politik. Golput muncul karena
berdasarkan bahwa keberadaan pemilu dan aktivitas memilih tidak akan
berdampak lebih baik pada diri pemilih. Hal ini terjadi ditengah
masyarakat yang terjebak pada apatisme. Kecenderungan ini muncul ketika
norma-norma sosial yang selama ini disepakati dan dijabarkan dalam suatu
masyarakat mengalami kelonggaran, kegoyahan, dan kehilangan fungsinya
yang efektif. Golput bukanlah pilihan tepat dan cenderung mendorong
masyarakat menjadi apatis. Kondisi ini bisa menciptakan rendahnya
legitimasi pemerintah serta mendorong munculnya masyarakat yang antipati
(ketidaksukaan untuk sesuatu atau seseorang), terhadap perkembangan
politik. Dampaknya akan mendorong lemahnya sarana-sarana politik formal
yang ada saat ini.
Akhirnya kita akan sepakat bahwa kondisi
apatis dan pragmatis masyakarat terhadap politik harus dikembalikan
kepada kondisi aktif dan kondisi idealis dalam praktek politik di
Indonesia. Tidak boleh lagi terjadi pembohongan dan membodohi masyarakat
untuk kepentingan elit politik, semua kepentingan harus bersandar pada
kepentingan rakyat banyak. Kita tingkatkan kembali kesadaran masyakarat
untuk berpolitik dan merubah imej parpol dan politik di mata masyarakat.
Hal tersebut tentunya merupakan tanggungjawab kita bersama, masyarakat,
para pemimpin, politisi, akademisi, pengamat, dan khususnya para
generasi muda yang menginginkan terjadinya perubahan kearah yang lebih
baik untuk kemajuan dan cita-cita bangsa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar