Selasa, 01 Oktober 2013

Apatisme & Pragmatisme Masyarakat Terhadap Pemilu

Kesadaran politik setiap masyarakat akan sangat berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya dikarenakan berbagai faktor yang akhirnya akan menghasilkan pemikiran masyarakat yang apatis dan pragmatis serta sebaliknya aktif dan memiliki kesadaran yang tinggi terhadap pentingnya Pemilu. Beberapa bulan terakhir penulis melakukan pendekatan dan komunikasi langsung dengan masyarakat di tempat daerah pemilihan, memang benar bahwa sebagian masyarakat memiliki kecenderungan kearah apatis dan pragmatis, namun ada pula yang bersemangat untuk ikut melakukan perubahan karena sudah merasa jengkel dengan kondisi dan keadaan politik serta kepemimpinan saat ini. Keadaan tersebut diperparah karena hampir sebagian besar anggota legislatif ditingkat pusat mencalonkan kembali sebagai anggota DPR-RI. Mereka justru akan membuat masyarakat bosan dan jenuh karena janji-janji mereka dahulu dan perilaku korup yang akhirnya membuat masyarakat menderita. Bagi beberapa caleg pemula, keadaan ini merupakan tantangan tersendiri dan selalu berusaha menyadarkan masyarakat betapa pentingnya partisipasi kita terhadap semua proses Pemilu untuk mengubah kondisi bangsa dan negara kearah yang lebih baik. Bagi sebagian masyarakat yang sadar, mereka tidak segan-segan melakukan penyadaran kepada masyarakat lainnya untuk aktif dan paham betapa pentingnya hasil Pemilu bagi legislatif maupun eksekutif bagi kemajuan dan pencapaian cita-cita bangsa dan negara. Mereka kritis terhadap kondisi bangsa saat ini, dan hal tersebut menjadi penyemangat bagi para Caleg yang memiliki idealisme dan yang memiliki visi Perubahan. 
Bagi para Caleg yang memiliki latar belakang sebagai Aktivis tentunya akan sangat membantu dalam membangun jaringan dan pergerakan masyarakat. Banyak hal yang mereka kritisi, antara lain: banyaknya kasus korupsi yang sudah secara masiv mengakar di semua unsur birokrasi bagi eksekutif maupun legislatif; menggejalanya dinasti politik yang bertujuan untuk mengamankan kekuasaan; hancurnya kearifan masyarakat dalam melaksanakan pesta demokrasi yang dicemari oleh politik uang dan transaksional; kolusi dan nepotisme dalam proses rekrutmen PNS yang harus menyetorkan sejumlah uang pelicin; penguasaan kekayaan alam oleh pihak asing dan pembiaran terhadap kepemilikan lahan besar-besaran hanya karena alasan investasi dan liberalisasi ekonomi; penyimpangan terhadap praktek dan reposisi dari Pancasila dan UUD 1945 yang seharusnya tetap dijaga sebagai falsafah dan dasar negara; masalah tenaga kerja dan kesempatan kerja masyarakat; memanipulasi berbagai proyek dan bagi-bagi jatah serta program subdisi yang dikaburkan; dan segudang masalah lain baik ditingkat pusat dan daerah serta berbagai bidang ekonomi, ideologi, politik, hukum, sosial, budaya dampai sumber daya energi.
Bagi saya, sikap kritis tersebut menjadikan penyemangat dan dorongan yang luar biasa untuk bisa melakukan perubahan diberbagai sendi dan aspek kehidupan masyarakat. Biarpun perjuangan saya sekarang ini sedang melakukan antitesa terhadap usaha politik yang memungkinkan peluang keberhasilannya sangat kecil, namun saya merasa tegar untuk tidak melakukan politik transaksional dan menjauhkan dari praktek-praktek kotor yang akan membohongi dan membodohi masyarakat. Di setiap perjalanan dalam melakukan silaturahmi dan koordinasi, tidak henti-hentinya saya mengajak dan menyadarkan masyarakat untuk aktif dalam usaha melakukan perubahan. Mengajak mereka untuk tidak bersikap apatis dan pragmatis terhadap semua proses demokrasi dan pemilu yang sebentar lagi akan diselenggarakan.
Apatisme Masyarakat
Orang-orang yang apatis menganggap kegiatan berpolitik sebagai sesuatu yang sia-sia, sehingga sama sekali tidak ada keinginan untuk beraktivitas di dunia politik. Sikap apatis masyarakat terhadap politisi menjadi penyebab utama golput (golongan putih), golongan putih diartikan sebagai pilihan politik warga negara untuk tidak menggunakan hak pilih, hal ini berkaitan dengan partisipasi politik. Keinginan golput merupakan pilihan yang dilakukan secara sadar, karena kenyataannya dari dulu mulai kampanye hingga pemilihan akhirnya semua tetap sama saja, sehingga adanya sebagian orang yang mengabaikan Pemilu. Orang-orang yang bersikap apatis terhadap kegiatan berpolitik di karena sebagian masyarakat yang sama sekali tidak memahami hakikat politik sesungguhnya.
Apatis adalah sikap masyarakat yang masa bodoh dan tidak mempunyai minat atau perhatian terhadap orang lain, keadaan, serta gejala-gejala sosial politik pada umumnya. Apatisme merupakan sikap acuh tak acuh terhadap sebuah hal, dalam hal ini adalah politik. Apatisme masyarakat terhadap politik dilatari oleh dua aspek yaitu rendahnya kepercayaan terhadap politik yang berlangsung dan rendahnya ketertarikan masyarakat terhadap politik. Dalam beberapa kasus apatisme masyarakat terhadap politik khususnya di Indonesia, terjadi disebabkan oleh kesenjangan antara masyarakat dan elit politik. Diantara mereka terjadi distorsi kepentingan, dimana elit politik selalu menjadikan kelompok masyarakat menjadi objek pencapaian kepentingannya dan cenderung mengorbankan kepentingan masyarakat. Hal ini sebenarnya harus dihindari bahwa politisi seyogyanya tidak menjadikannya elit dan jauh dari masyarakat, justru yang memegang kekuasaan tertinggi adalah masyarakat itu sendiri dan politisi seharusnya menjadi pelayan masyakarat dan penyambung lidah rakyat untuk kepentingan bersama dalam berbangsa dan bernegara.
Pragmatisme Masyarakat
Satu sisi lagi yaitu pragmatisme masyarakat yang terjadi saat ini dimana mereka akan ikut memilih bilamana ada imbalan dan janji yang sesuai dengan keinginan dan kepentingan masyarakat. Hal ini merupakan produk dari proses pembodohan masyarakat yang secara masiv terjadi baik disadari atau tidak disadari oleh kalangan elit politik yang pernah berkuasa. Kecenderungan itu muncul bukan tanpa sebab, salah satunya karena perilaku wakil yang dipilih dalam perkembangannya sudah tidak mencerminkan kepentingan masyarakat. Untuk menarik simpati pemilih yang pragmatis tersebut, kita harus melakukan pendekatan dengan memberikan penyadaran politik. Karena itu sebisa mungkin kita menghindari praktek politik uang dalam menggaet pemilih, karena politik transaksional sangat membahayakan iklim demokrasi Indonesia dikemudian hari.
Pragmatis adalah cara pandang atau pola pikir seseorang yang ingin memperoleh atau mendapatkan sesuatu dengan cara-cara yang mudah dan praktis. Pragmatisme adalah paham tentang cara pandang atau pola pikir seseorang yang ingin memperoleh atau mendapatkan sesuatu dengan cara-cara yang mudah dan praktis. Bila sementara saya simpulkan dari hasil kunjungan dan silaturahmi di lapangan bahwa saat ini kecenderungan pemilih di masyarakat sangat apatis dan pragmatis.
Paradox Kepentingan Politik
Kesadaran politik berarti sadar akan hak dan kewajibannya sebagai warga negara, sikap dan kepercayaan terhadap pemerintah lebih kepada penilaian seseorang terhadap pemerintah, apakah pemerintah dapat dipercaya atau tidak. Apabila seseorang memiliki kesadaran politik dan kepercayaan terhadap pemerintah yang tinggi, partisipasi politik cenderung aktif. Sebaliknya, apabila kesadaran dan kepercayaan rendah terhadap pemerintah, partisipasi politik cenderung pasif dan tertekan atau apatis. Salah satu alasan yang menyebabkan sikap apatis pada masyarakat umumnya adalah dengan adanya anggapan pada individu dan masyarakat bahwa partisipasi politik adalah hal sia-sia karena tidak pernah efektif. Pola pikir masyarakat melihat elite politik yang senantiasa selalu membodohi masyarakat dan masyarakat yang mempunyai pengalaman dan pemahaman bahwa pemerintah dan elit politik, baik tingkat pusat maupun daerah, selama ini tidak mampu melakukan perubahan sosial politik bagi perbaikan nasib rakyat banyak. Masyarakat yang umumnya ada perasaan terasingkan dari politik atau pemerintahan dan cenderung berpikir bahwa pemerintahan dan politik hanya dilakukan oleh dan untuk orang lain, jadi merasakan dan memandang berbagai kebijakan elit politik atau pemerintah tidak lagi bersesuaian dengan sikap dan pemikiran politiknya atau kepentingan rakyat banyak.
Kepentingan politik sebenarnya adalah semata-mata untuk membuat tercapaikan keingingan dan kepentingan rakyat banyak. Masyarakat atau rakyak akan memilih wakil-wakilnya untuk kepentingan mereka, dan wakil-wakilnya tersebut semata-mata bekerja dan berusaha untuk mencapai apa yang diinginkan masyarakat pemilihnya tersebut. Namun sekarang terjadi paradox kepentingan politik dimana proses politik tersebut menimbulkan distorsi kepentingan dan menjadikan dua pihak yang berbeda serta melahirkan elit politik yang sesungguhnya mereka hanya sebagai pelayan dan mewakili kepentingan masyarakat. Kepentingan masyakarat dan elit politik akhirnya jauh berbeda, akhirnya masyarakat yang selalu menjadi korban kebijakan politik yang sedang berkuasa. Wakil Rakyat yang seharusnya mengusung kepentingan rakyat nyatanya menjadi musuh rakyat karena hanya mengusung kepentingan kelompok dan pribadinya semata. Masyarakat memandang elite politik tidak mengalami perubahan yang jelas. Ada sebagian masyarakat yang sangat mengerti sekali dengan politik tetapi pemilu tak ubahnya hanya sandiwara politik karena hakikatnya, pemilu hanya akan menguntungkan secara politik dan ekonomi kepada elit politik. Golput muncul karena berdasarkan bahwa keberadaan pemilu dan aktivitas memilih tidak akan berdampak lebih baik pada diri pemilih. Hal ini terjadi ditengah masyarakat yang terjebak pada apatisme. Kecenderungan ini muncul ketika norma-norma sosial yang selama ini disepakati dan dijabarkan dalam suatu masyarakat mengalami kelonggaran, kegoyahan, dan kehilangan fungsinya yang efektif. Golput bukanlah pilihan tepat dan cenderung mendorong masyarakat menjadi apatis. Kondisi ini bisa menciptakan rendahnya legitimasi pemerintah serta mendorong munculnya masyarakat yang antipati (ketidaksukaan untuk sesuatu atau seseorang), terhadap perkembangan politik. Dampaknya akan mendorong lemahnya sarana-sarana politik formal yang ada saat ini.
Akhirnya kita akan sepakat bahwa kondisi apatis dan pragmatis masyakarat terhadap politik harus dikembalikan kepada kondisi aktif dan kondisi idealis dalam praktek politik di Indonesia. Tidak boleh lagi terjadi pembohongan dan membodohi masyarakat untuk kepentingan elit politik, semua kepentingan harus bersandar pada kepentingan rakyat banyak. Kita tingkatkan kembali kesadaran masyakarat untuk berpolitik dan merubah imej parpol dan politik di mata masyarakat. Hal tersebut tentunya merupakan tanggungjawab kita bersama, masyarakat, para pemimpin, politisi, akademisi, pengamat, dan khususnya para generasi muda yang menginginkan terjadinya perubahan kearah yang lebih baik untuk kemajuan dan cita-cita bangsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar